Minggu, 29 November 2009

harta yang paling berharga adalah keluarga
mutiara yang paling indah adalah keluarga
puisi yang paling bermakna adalah keluarga
....

Potongan syair lagu yang pernah menjadi sangat populer bersama
sinetron Keluarga Cemara beberapa tahun silam itu, mengingatkan siapa
saja yang belajar di sekolah kehidupan tentang makna penting sebuah
keluarga. Sebagai satuan terkecil dalam sebuah masyarakat, keluarga
menjadi ajang pertumbuhan tunas-tunas bangsa. Dalam keluargalah anak-
anak mengalami dinamika kehidupan manusia dengan neka ragam problema
dan corak emosi yang dimunculkannya. Anak-anak belajar mengenali
hampir semua hal, pertama-tama dan terutama dalam keluarga, kemudian
di lingkungan hidup sekitar rumah, lalu ke sekolah, dan masyarakat.

Para psikolog dan psikiater sering mengingatkan bahwa sejumlah
peristiwa penting dalam perjalanan kehidupan sebuah keluarga€entah
itu yang menyenangkan atau tragis menyedihkan€sangat susah terhapus
dari memori seorang anak. Dengan begitu kita semua membawa pengalaman
masa kecil ketika beranjak remaja dan kemudian menjadi dewasa.
Sehingga, hampir setiap masalah kejiwaan yang mengganggu kehidupan
seseorang, kemudian dikaitkan dengan pengalaman masa kecilnya.
Asumsinya jelas, masa kecil yang tak bahagia membuka peluang
munculnya problem kejiwaan dalam diri setiap manusia pada tahap-tahap
kehidupan selanjutnya.

Jika pengalaman masa kecil dalam keluarga mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan karakter dan kepribadian seorang anak manusia,
maka seberapa bahagiakah kita sebagai kanak-kanak dulu? Adakah kita
cukup bahagia untuk menjadi pribadi yang matang secara kejiwaan?
Ataukah kita terkungkung oleh sejumlah trauma masa kecil yang
sekarang menjadi ganjalan dalam hubungan kita dengan pasangan dan
anak-anak kita sendiri?

Bagaimana pula dengan anak-anak yang dibesarkan di rumah kita hari-
hari ini? Siapakah di antara kita yang secara berkala meluangkan
waktu untuk mencari tahu hal-hal seperti apa yang membuat anak-anak
kita merasa bahagia? Siapakah di antara kita yang kemudian benar-
benar memberi waktu untuk melakukan hal-hal tersebut? Berapa lama
waktu senggang, di luar tuntutan pekerjaan dan tugas-tugas rumah
tangga, yang masih tersisa untuk bermain dan bercengkerama dengan
anak-anak kita pada bulan-bulan terakhir ini? Kapan kita terakhir
kali tertawa ria bersama-sama seluruh anggota keluarga, sepanjang
hari, dalam suasana yang menentramkan hati? Bagaimana suasana liburan
keluarga kita yang terakhir? Jika rentetan pertanyaan seperti di atas
diajukan kepada orangtua di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
dan Surabaya, boleh jadi jawabannya tidak menggembirakan. Di dera
oleh tuntutan kebutuhan hidup yang menggila, sebagian besar keluarga
sekarang harus berjuang keras untuk sekadar memiliki waktu bersama.
Kedua orangtua bekerja mencari nafkah, sementara anak-anak ditemani
baby-sitter atau pembantu, sudah galib kita saksikan dimana-mana.
Yang justru mulai langka---atau bahkan dianggap sudah kuno---adalah
menemukan sosok perempuan yang tinggal di rumah, khusus untuk
mengasuh anak-anaknya. Kalau pun masih ada, mungkin karena mereka
tidak mendapatkan kesempatan memperoleh pekerjaan, bukan pilihan yang
dilakukan dengan sadar penuh suka cita.

Ada banyak sebab mengapa para ibu harus ikut serta mencari nafkah
keluarga. Boleh jadi karena penghasilan suaminya tak mencukupi dan ia
punya kesempatan memperoleh pekerjaan [bahkan ada kalanya karier
istri lebih mencorong dari suaminya]. Bisa juga karena perempuan
sekarang merasa tugas-tugas domestik di rumah kurang menantang
pengembangan dirinya, sehingga ia bekerja untuk mengaktualisasikan
potensinya. Atau karena berpisah dengan suami dan menjadi orangtua
tunggal bagi anak-anaknya.

Apapun alasannya, anak-anak kemudian harus menerima kenyataan diasuh
baby-sitter dan pembantu. Syukur-syukur kalau ada nenek-kakek yang
bersedia dikaryakan untuk menjaga cucu. Sementara ayah dan bunda
membiasakan diri untuk pergi pagi, dan pulang malam dalam kondisi
lelah. Maka anak-anak pun membiasakan diri untuk menerima hal semacam
itu sebagai kenyataan, sebagai situasi "keluarga yang normal".
Ditambah beban pelajaran, pekerjaan rumah, kursus musik dan
matematika, anak-anak juga belajar untuk tak menuntut banyak waktu
dari orangtuanya. Masa kanak-kanaknya dipercepat, ikut program
akselerasi untuk mandiri dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan
pada waktunya kelak, mereka juga akan menduplikasi pola asuh
orangtuanya kepada anak-anak mereka sendiri. Memang sudah harus
begitu, mau bagaimana lagi?

Nampaknya segala sesuatu berjalan lancar sebagaimana mestinya. Sampai
sesuatu terjadi. Dalam peringatan Hari Ibu di akhir Desember, seorang
anak kita menuliskan sebuah surat seperti yang beredar di sejumlah
milis belakangan ini. Berikut cukilannya:

SURAT BUAT MAMA ....

Mamaku sayang, aku mau cerita sama mama. Tapi ceritanya pake surat
ya.
Kan, mama sibuk, capek, pulang udah malem. Kalo aku banyak ngomong
nanti mama marah kayak kemarin itu, aku jadinya takut dan nangis.
Kalo pake surat kan mama bisa sambil tiduran bacanya. Kalo ngga
sempet baca malem ini bisa disimpen sampe besok, pokoknya bisa dibaca
kapan aja deh. Boleh juga suratnya dibawa ke kantor.

Ma, boleh ngga aku minta ganti mbak? Mbak Jum sekarang suka galak,
Ma. Kalo aku ngga mau makan, piringnya dibanting di depan aku. Kalo
siang aku disuruh tidur melulu, ngga boleh main, padahal mbak
kerjanya cuman nonton TV aja. Bukannya dulu kata mama mbak itu
gunanya buat nemenin aku main?

Trus aku pernah liat mbak lagi ngobrol sama tukang roti di teras
depan. Padahal kata Mama kan ngga boleh ada tukang-tukang yang masuk
rumah kan? Kalo aku bilang gitu sama mbak, mbak marah banget dan
katanya kalo diaduin sama Mama dia mau berhenti kerja.

Kalo dia berhenti berarti nanti Mama repot ya? Nanti Mama ngga bisa
kerja ya?
Nanti ngga ada yang jagain aku di rumah ya? Kalo gitu susah ya, Ma?
Mbak ngga diganti ngga apa-apa, tapi Mama bilangin dong jangan galak
sama aku.

Ma, bisa ngga hari Kamis sore Mama nganter aku ke lomba nari Bali?
Pak Husin sih selalu nganterin, tapi kan dia cowok, Ma. Ntar yang
dandanin Aku siapa? Mbak Jum ngga ngerti dandan. Ntar aku kayak
lenong. Kalo Mama kan kalo dandan cantik.

Temen-temen aku yang nganterin juga mamanya. Waktu lomba gambar
minggu lalu Pak Husin yang nganter; tiap ada lomba Pak Husin juga
yang nganter. Bosen, ma. Lagian aku pingin ngasi liat sama temen-
temenku kalo Mamaku itu cantik banget, aku kan bangga, Ma. Temen-
temen tuh ngga pernah liat mama. Pernah sih liat, tapi itu tahun lalu
pas aku baru masuk SD, kan Mereka jadinya udah lupa tampangnya mama.

Ma, hadiah ulang tahun mulai tahun ini ngga usah dibeliin deh.
Uangnya Mama tabungin aja. Trus aku ngga usah dibeliin baju sama
mainan mahal lagi deh. Uangnya Mama tabung aja. Kalo uang Mama udah
banyak,kan Mama ngga usah kerja lagi. Nah, itu baru sip namanya.
Lagian mainanku udah banyak dan lebih asyik main sama Mama kali ya?

Udah dulu ya, ma. Udah ngantuk. I love you Mom,..(aku tanya bu guru
katanya artinya "aku cinta padamu," berarti aku juga boleh mencintai
mama, ya).

Coba bayangkan! Bagaimana perasaan seorang ibu jika menerima surat
semacam itu dari anak yang dikasihinya? Dan bagaimana pula reaksi
seorang ayah jika membaca surat tersebut? Masa bodohkah? Marahkah?
Sedihkah? Bingungkah? Atau menantang kita untuk memikirkan kembali
prioritas hidup yang kita jalan selama ini?

Kita agaknya memang perlu menyadari tantangan jaman yang berkembang.
Ada banyak perbedaan antara konteks jaman ketika kita dibesarkan 40-
50 tahun silam, dengan konteks jaman sekarang. Sebagian dari kita
mungkin tak bisa lagi membesarkan anak-anak seperti ketika kita
dibesarkan orangtua kita. Jadi, kita memang perlu menemukan pola asuh
yang lain, yang berbeda, yang lebih cocok dengan tantangan masyarakat
kita saat ini. Dan dalam proses menemukan pilihan-pilihan yang lebih
tepat, beberapa pertanyaan dasar mungkin perlu kita jawab dengan
jujur. Misalnya, apakah anak-anak dan keutuhan keluarga masih cukup
penting artinya bagi kita sebagai pribadi? Atau, tanpa kita sadari
sepenuhnya, nilai dan arti anak-anak dan keutuhan keluarga telah
mengalami inflasi besar-besaran dalam cara berpikir kita saat ini?
Benarkah harta yang paling berharga adalah keluarga? Tabik Mahardika!

Sumber: Harta Berhargakah? oleh Andrias Harefa.



1 komentar :

kelirirenk mengatakan...

Cerita yang sangat menarik, harus berpikir ulang siapa yang benar-benar paling berharga....
Suratnya menarik : Anak yang masih lucu, masih lugu... harus berkirim surat untuk kepingin ngomong sama sang MAMA
Sebuah gambaran yang umum pada masa sekarang.

Testimonial

Makasih ya, pesanan saya sudah sampai.
Tina - Palangkaraya
085252xxx

nastarnya enaaakkk, makasiiihh!
Dewi - Muara Teweh
0812495xxxx

donat kentangnya juga mantap, pesen lagi aahh!
silvia - Muara Teweh
0813489xxxx

kroketnya mana lagi nihh, pengen lagi mbak pesen!
arianty - Muara Teweh
085786xxxx